Sabtu, 05 Desember 2009

Harmonis Berkat Santap Bersama

JAKARTA-- Kebiasaan makan bersama mungkin terlihat sepele. Tapi siapa sangka, minimnya menyempatkan waktu makan bersama dapat mempengaruhi keharmonisan keluarga bahkan berpotensi menyebabkan perceraian. Pakar Sosiologi Keluarga dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Erna Karim membenarkan hal itu, dalam sebuah diskusi yang disponsori bumbu masak, baru-baru ini.

Dikatakannya, perceraian merupakan konflik puncak sebagai akibat pemupukan ketidakharmonisan yang terjadi antara suami dan istri dalam membangun bahtera rumah tangga. Tidak hanya itu, keretakan antar anggota keluarga menjadi akibat berikutnya.

Istilah ketidakharmonisan, kata dia, muncul sebagai akibat berkurangnya kesempatan interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga. Salah satu contoh konkret, minimnya alokasi waktu untuk makan bersama. Akan tetapi, beberapa kendala struktural macam aktivitas antar anggota keluarga yang tidak sama, kepadatan lalu lintas dan pengaruh teknologi berimplikasi terhadap pergeseran nilai-nilai dan norma dalam masyarakat saat memandang ritual makan bersama.

"Kegiatan makan bersama merupakan kebiasaan yang sudah ada sejak dulu di masyarakat Indonesia. Namun, seiring perkembangan jaman dimana setiap anggota keluarga memiliki rutinitas yang cukup menyita berakibat pada kurangnya intensitas makan bersama dalam keluarga," ungkapnya.

Menurut Erna, efek negatif yang paling ngena terjadi pada masyarakat kota besar. Dia menunjuk kota macam Jakarta, Surabaya, Bandung dan Makassar merupakan wujud konkret ketidakharmonisan yang dialami sebagian besar keluarga.

"Kelima kota yang dimaksud memiliki tingkat perceraian paling besar diantara kota-kota lain di Indonesia. Surabaya misalnya, untuk kasus cerai talak tercatat 17.728 pasangan sedangkan untuk kasus cerai gugat mencapai 27.805 pasangan," ungkapnya.

Angka itu, kata Erna,menjadi semacam tanda pergeseran nilai dalam pandangan masyarakat terkait perceraian. Jika dahulu kata cerai dianggap tabu maka kini tidak lagi. Dia merasa khawatir, sebabnya keluarga merupakan institusi sosial terkecil yang memiliki peran vital dalam pembentukan institusi sosial yang lebih luas. "Keretakan dan ketidakharmonisan rumah tangga memiliki andil terciptanya konflik sosial dalam masyarakat. Sebagai contoh, kekerasan, pencurian dan yang terkini adalah teroris," kata dia.

Dia memandang makan bersama dalam keluarga termasuk didalamnya suami dan istri begitu penting membentuk keharmonisan. "Dalam ritual makan bersama, berkumpul suami, istri dan anak-anak. Momen ini dirasa pas guna menjalin komunikasi yang lebih kuat dan membatin diantara anggota keluarga," tuturnya. (cr2/rin)

By Republika Newsroom
Jumat, 21 Agustus 2009 pukul 07:58:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar